TATA CARA BERWUDHU SESUAI RASULULLAH SAW.
TUNTUNAN BERWUDLU
MENURUT PAHAM MUHAMMADIYAH
Dalam pandangan Muhammadiyah, agama disyariatkan dengan perantara para nabi berupa segala perintah, dan larangan juga petunjuk kebaikan manusia di dunia, dan akhirat.Jadi agama Islam dibawa Nabi Muhammad SAW diturunkan Allah dalam Al Quran dan sunnah shahih, berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat
Muhammadiyah memandang, dan meyakini ajaran Islam merupakan satu matarantai sejak nabi Adam hingga Nabi Muhammad, seluruhnya berdasar wahyu Allah dibawa para nabi, dan rasulNya. Sehingga dalam hal melaksanakan amalan-amalan agama terutama berkaitan dengan ibadah mahdlah berlandaskan hadits-hadits yang shahih yang makbullah. Dengan prinsip ini, Muhammadiyah tidak menerima kebidahan dalam ibadah mahdlah.
Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai majelis pembantu pimpinan Muhammadiyah, salah satu tugasnya adalah melakukan sosialisasi keputusan-keputusan dan pembinaan dalam hal amalan-amalan ibadah khusunya ibadah mahdlah. Pada mimbar web SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta ini akan menyampaikan tuntunan ibadah praktis yaitu berwudlu menurut paham Muhammadiyah yang bersumber dari Himpunan Putusan Tarjih.
Perintah bersuci (thaharoh) terdapat dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalatnan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (Qs. Al-Maidah 6).
Kemudian dalam hadits Nabi SAW telah diperinci tata cara bersuci, sebagai berikut :
Pertama, dalam Himpunan Putusan Tarjih telah dituliskan bahwa apabila kamu hendak berwudhu, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim.
Bacaan bismillahirrahmanirrahim yang diucapkan saat hendak berwudhu berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Nasai, Abu Dawud dan Abdul- Kadir Arruhawi.
سنن النسائي ٧٧: عَنْ أَنَسٍ قَالَ
طَلَبَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضُوءًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ مَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ فَوَضَعَ يَدَهُ فِي الْمَاءِ وَيَقُولُ تَوَضَّئُوا بِسْمِ اللَّهِ فَرَأَيْتُ الْمَاءَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ حَتَّى تَوَضَّئُوا مِنْ عِنْدِ آخِرِهِمْ قَالَ ثَابِتٌ قُلْتُ لِأَنَسٍ كَمْ تُرَاهُمْ قَالَ نَحْوًا مِنْ سَبْعِينَ
Karena hadits dan Nasai dengan sanad yang baik : Wudlu-lah kamu dengan membaca Bismillah!. Ibnu Hadjar menyatakan dalam kitab Takhrij Ahadits al-Adzkar, bahwa hadits ini hasan shahih, Imam Nawawi setelah membawakan hadits dari Anas seluruhnya, menyatakan bahwa hadits itu sanadnya baik.
بحديث « كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أقطع » أخرجه ابن حبان من طريقين . قال ابن الصلاح : والحديث حسن . ولأبي داود وابن ماجه « كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بالحمد لله أو بالحمد فهو أقطع » ولأحمد « كل أمر ذي بال لا يفتتح بذكر الله فهو أبتر أو أقطع » وللدارقطني عن أبي هريرة مرفوعا « كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بذكر الله فهو أقطع »
حديث ( كل أمر لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أقطع ) طرقه يشد بعضها بعضاً فهو من باب الحسن لغيره
Dan menurut hadits: segala perkara yang berguna, yang tidak di mulai dengan Bismillahirrahmanirrahim itu tidak sempurna. (Diriwayatkan oleh Abdul- Kadir Arruhawi dari Abu Hurairah ).
سنن أبي داوود ٩٢: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ
Sunan Abu Daud 92: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Said telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Musa dari Yaqub bin Salamah dari Ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu, dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah Taala padanya.
Kedua, Mengikhlaskan niatnya karena Tuhan Allah
صحيح البخاري ٥٢: عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Shahih Bukhari 52: dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan
Niat dalam berwudhu merupakan perkara penting yang harus selalu diperhatikan dan dijaga agar tetap lurus semata-mata karena mencari ridha Allah swt. Kata niat dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Sedangkan menurut istilah, niat adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Atau keinginan yang berhubungan dengan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Hukum niat menurut jumhur selain madzhab Hanafi adalah wajib. Bahkan maksud kata Semua perbuatan tergantung niatnya, menurut mereka (jumhur) di atas, artinya tidak sah.
Berkaitan dengan tempat niat, semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Mengucapkan lafalkan niat dengan lisan menurut jumhur ulama selain madzhab Maliki termasuk hal yang disunnahkan, dengan maksud untuk membantu hati dalam menghadirkan niat. Menurut madzhab Maliki, meninggalkan melaflkan niat merupakan hal yang terbaik, karena tidak ada dalil yang bersumber dari Rasulullah saw dan sahabatnya bahwa mereka melafalkan niat. Begitu juga tidak ada informasi dari imam madzhab empat tentang perkara itu.
Menurut Imam al-Baidhawi, niat adalah perasaan hati yang terdorong oleh sesuatu yang ia anggap cocok baik sesuatu itu, berbentuk datangnya suatu manfaat atau tertolaknya suatu kerusakan, baik waktu sekarang maupun yang akan dating. Niat ini dikhususkan untuk menunjuk pada keinginan yang mengarah kepada perbuatan untuk mendapatkan ridha Allah SWT, dan untuk melaksanakan hokum-hukumnya.
Dalam masalah niat ini, Muhammadiyah lebih menerima pendapat dari madzhab Maliki yang mencukupkan niat di dalam hati dan menolak niat dengan dilafalkan karena tidak ada dalil yang menjelaskan tentang lafal niat khususnya dalam berwudhu.
Bersambung ……