ZAKAT FITRAH Di BUAT MODAL USAHA DALAM FATWA TARJIH
Memodalkan Zakat Fitrah
Judul ini merupakan hasil dari pertanyaan yang dimuat di SM No. 6 tahun ke 77 tentang masalah memodalkan zakat fitrah. Bagaimana hukumnya memodalkan zakat fitrah ?
Berikut jawaban yang dimuat dalam buku tanya jawab agama jilid 4 halaman 196.
Ada beberapa perbedaan dalam pelaksanaan zakat mal dengan zakat fitrah. Zakat mal adalah zakat harta benda, kekayaan, perdagangan, dll, yang wajib dikeluarkan oleh pemiliknya dengan syarat tertentu yaitu jumlah dan waktu pemilikannya, dan diserahkan kepada asnaf yang delapan macam. Sedangkan zakat fitrah atau zakat nafs ialah zakat yang ukurannya sebanyak 2,5 kg makanan pokok dan wajib dikeluarkan oleh setiap orang Islam pada akhir bulan Ramadhan diserahkan kepada yang berhak menerimanya.
Untuk mendapatkan ketegasan tentang boleh dan tidaknya memodalkan zakat fitrah itu, terlebih dahulu perlu pula diketahui dua hal:
1. Hak siapakah zakat fitrah tersebut? Apakah hak fakir miskin semata ataukah hak delapan macam penerima zakat, dan
2. Apa sesungguhnya fungsi dan tujuan zakat fitrah? Dua hal ini perlu mendapat kejelasan lebih dahulu.
Terdapat dua macam pendapat ulama tentang hak siapa zakat fitrah itu, pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah itu, adalah hak delapan macam asnaf seperti dalam Surat at-Taubah ayat 60, fakir, miskin, 'amilin, mu'allaf, budak, orang yang berhutang, fisabilillah dan musafir. Mereka beralasan bahwa ash-shadaqat bersifat umum dan mencakup segala macam shadaqah termasuk zakat fitrah Pendapat seperti ini dari Syafi'i, Jumhur dan lainnya. Kedua, segolongan ulama lain seperti Abu Thalib, Jumhur, Qasim dll menyatakan bahwa zakat fitrah itu adalah untuk fakir miskin semata, mereka beralasan dengan Hadits Nabi saw riwayat Abu Dawud, Ibnu Majjah, Hakim dari Ibnu 'Abbas:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفطر طهرةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَتْ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَذَاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِرَ زَكَاهُ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَنَا هَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَهُ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Artinya: Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensucian diri bagi orang yang berpuasa dari perkataan tidak berguna/ sia-sia yang jorok/buruk, dan untuk memberikan makan kepada orang- orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Shalat 'Id), maka itulah zakat yang diterima (maqbul) dan barangsiapa menunaikannya sesudah shalat maka itu termasuk shadaqah.
Dalam Hadits ini Nabi saw menegaskan bahwa zakat fitrah itu adalah makanan untuk orang miskin, karena besarnya hajat mereka kepada makanan tersebut Muhammad ibn Ismail ash-Shan'ani dalam Subul as Salam menjelaskan bahwa lafaz thu'mah li al-masakin menjadi dalil atau dikhususkannya bagi fitrah itu menjadi fakir miskin. Jamaah ahli bait juga berpendapat demikian.
Menurut al-Qurtubi, para ulama telah sepakat bahwa zakat fitrah itu diserahkan kepada fakir miskin Muslimin berdasarkan sabda Nabi Saw.
اغْنُوهُمْ عَنِ الطَّوَافِي هَذَا اليوم
Artinya: Kayakanlah mereka daripada meminta-minta pada hari ini (hari raya 'Idul Fitri)
Jadi golongan ini berpendapat bahwa zakat fitrah adalah hak fakir miskin, diperkuat dengan Hadits Nabi saw thu 'mah li al masakin adalah merupakan bayan atau penjelas terhadap keumuman ayat 60 Surat at- Taubah tersebut di atas (innama ash-shadaqah).
Memperhatikan kedua pendapat di atas, ditambah lagi bahwa zakat fitrah itu dikeluarkan bertalian dengan kewajiban berpuasa bulan Ramadhan, yang diserahkan untuk makanan fakir miskin, maka dalam hal ini Tim Tarjih berpendapat sebagaimana dalam HPT, yaitu bahwa zakat fitrah itu sangat diprioritaskan penyerahannya kepada fakir miskin.
Fungsi zakat itu sesungguhnya adalah untuk dapat mengubah keadaan si mustahiq menjadi muzakki, dan bukan hanya memberi makan mereka untuk satu hari raya saja, tetapi juga untuk hari-hari berikutnya, dapat menjamin kehidupan sosial bagi masyarakat dan si miskin dapat tambahan jaminan kehidupannya karena zakat fitrah itu adalah haknya dan akan dapat menambah hubungan yang erat dengan si "punya". Di samping itu dalam zakat fitrah juga terkandung perasaan persamaan, sehingga dapat menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri antara sesama manusia, dan lebih penting lagi dapat mengikatkan serta dapat mewujudkan persatuan antara sesama manusia.
Tujuan berikutnya dari zakat fitrah itu adalah membantu fakir miskin di hari raya agar ikut bergembira sebagaimana saudara- saudaranya, dapat membersihkan diri si kaya dari sifat kikir dan akhlak tercela, mendidik diri bersifat mulia dan pemurah, serta dapat menjaga kejahatan yang akan timbul pada si miskin karena sehari-hari selalu susah untuk memenuhi hajat yang selalu mereka derita.
Dalam pelaksanaan zakat fitrah ini, Muhammadiyah telah melakukan terobosan dengan menggeser tradisi pemberian zakat hanya tertuju pada kiai dan modin diubah dengan membentuk amil zakat yang bertindak sebagai pengumpul dan membagikannya kepada yang berhak yaitu fakir miskin. Di sini muzakki dan mustahiq sama-sama beruntung, sebab yang membayar merasa tertunaikan kewajibannya dengan baik dan mustahiq mendapat bagiannya secara merata. Namun pembagian zakat fitrah dengan secara konsumtif itu kurang berhasil atau malah tidak berhasil mengubah status mustahiqnya.
Untuk tercapainya tujuan, fungsi serta hikmah tersebut di atas, sudah barang tentu intensitas kerja amil harus ditingkatkan, artinya kerja amil itu tidak hanya sebatas hari raya saja serta hanya berhubungan dengan si miskin pada waktu pembagian zakat itu saja, tetapi hendaklah lebih akrab lagi. Di sinilah letak pentingnya mengembangkan dan memodalkan zakat fitrah tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang diisyaratkan dalam al-Qur'an.
وَابْتَغِ فِيمَا أَنكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا نَسْ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ( القصص : ٧٧ )
Artinya: Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia (al-Qhasas: 77)
Demikian pula firman Allah dalam Surat an-Najm ayat 39
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى ( النجم : ٣٢)
Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain dari apa yang telah diusahakan.
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa manusia diperintahkan untuk mencari kebahagiaan dan kesejahteraan di akhirat dengan tidak melupakan untuk mencari rizki untuk mewujudkan hidup yang layak, sejahtera dan bahagia di dunia ini. Penggunaan harta harus disesuaikan dan diselaraskan dengan pendapatan, lebih dari itu agar harta yang diperoleh tersebut tidak habis dalam waktu singkat perlu didayagunakan dalam usaha-usaha ekonomi produktif atau dimodalkan.
Selama ini zakat fitrah hanya dikonsumsi sehingga habis dalam waktu relatif singkat, dan akhirnya tidak menghasilkan nilai tambah dan sebagai akibatnya harapan untuk meningkatkan taraf hidup seperti yang dikehendaki tidak pernah menjadi kenyataan. Dengan kata lain yang fakir tetap fakir dan hidup dalam kemiskinan atau kita hanya memperhatikan "makanan" fakir miskin hanya untuk sehari raya saja, untuk hari berikutnya tidak diperhatikan atau diabaikan.
Dalam Hadits Ibnu 'Abbas di atas yang disuruh adalah memberi makan fakir miskin pada hari raya dan menghilangkan peminta-minta pada hari bahagia itu. Hal ini tidak berarti bahwa masalah memberi makan atau "makanan" untuk mereka hari berikutnya tidak dihiraukan, tetapi justru untuk hari berikutnya (hari depannya) lebih perlu lagi. Jelasnya tentang hari depan mereka harus lebih diperhatikan di samping untuk sehari raya itu juga mereka harus dapat makan dan memenuhi kebutuhan pokok, namun kebutuhan hari depan termasuk prioritas. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat al-Hasyr ayat 18:
ياتِهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yeng telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Hari esok/depan yang disebut dalam ayat di atas, bukan hanya hari depan akhirat, tetapi juga hari depan di dunia untuk hari depan akhirat.
Sehubungan dengan itu, selain yang diberikan hanya sekedar untuk makan pada sehari idul fitri dan tidak meminta-minta, maka zakat fitrah bisa dijadikan modal yang lazim disebut "sebagai alat penghasil", karena modal tersebut tidak dikonsumsi (dipakai habis) untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, tetapi didayagunakan untuk menghasilkan nilai tambah demi mendapatkan masa depan yang cerah seperti telah diisyaratkan oleh ayat-ayat al-Qur'an tersebut di atas (al-Qasas ayat 77, an-Najm ayat 39 dan al-Hasyr ayat 18).
Memodalkan zakat fitrah dalam bentuk usaha produktif itu haruslah seijin fakir miskin tersebut, karena zakat fitrah itu adalah hak mereka. Si miskin ilmu dan keterampilan sehingga kecil sekali kemungkinan untuk berhasil jika mereka diserahi untuk memodalkan harta zakat tersebut menjadi barang yang produktif.
Oleh karena itu pengelolaannya haruslah dilakukan oleh orang-orang yang ahli, alim dan terpercaya, dan juga dapat melibatkan para mustahiq tersebut, sehingga dapat mengelola usaha tersebut secara efektif dan efisien. Adapaun hasil dari permodalan atau usaha tersebut adalah untuk kepentingan si fakir miskin.
Barangkali secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Zakat fitrah adalah hak prioritas fakir miskin.
2. Diantara tujuannya adalah agar terjalin hubungan kerjasama dan rasa kasih sayang antara si kaya dan si miskin, dapat mengubah status fakir miskin tersebut.
3. Boleh memodalkan zakat fitrah dengan syarat:
a. Seijin fakir miskin, karena itu adalah hak mereka
b. Kebutuhan mereka di hari raya sudah tercukupi dengan sebagian zakat fitrah yang diberikan.
c. Yang dimodalkan adalah sisanya setelah diberikah kepada fakir miskin. Bentuk usahanya, bisa koperasi, PT atau lainnya.
d. Hasil permodalan zakat fitrah digunakan untuk kepentingan fakir miskin.
e. Pengelolaannnya dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya, orang ahli yang dibentuk bersama antara mustahiq, muzakki dan ulama.
f. Pengelola menjamin dan bertanggungjawab terhadap keselamatan permodalan zakat fitrah tersebut.